Mengenang Sang Demonstran

Image

Hari ini, 16 Desember 2013 adalah 44 tahun meninggalnya sang demonstran, Soe Hok Gie. Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya di puncak gunung Semeru (3676 mdpl) sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Sok Hok Gie terlalu banyak menghirup gas beracun, dia meninggal bersama rekannya Idhan Dhanvantari Lubis.

Soe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Nama Soe Hok Gie adalah dialek hokian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa mandarin (Hanzi), leluhur Gie berasal dari China. Soe Hok Gie adalah anak ke-empat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman (So Hok Djin) dosen Universitas Kristen Satya Wacana dan sekarang berdomisili di Australia. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius kemudian melanjutkan Perguruan Tinggi di Universitas Indonesia, Fakultas Sastra  Jurusan Sejarah.

Semasa hidupnya, Soe Hok Gie  dikenal sebagai pemuda yang berpendirian teguh dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran” (1983).

Soe Hok Gie juga aktif sebagai penulis di beberapa media massa, sepeti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sepertiga dari seluruh karyanya selama rentang waktu 3 tahun Orde Baru sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul “Zaman Peralihan” (Bentang 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul “Di Bawah Lentera Merah”. Sebelumnya, skripsi S1nya tentangpemberontakan PKI di Madiun juga sudah dibukukan dengan judul “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” (Bentang, 1997). Sebagai aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, berupa koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Soe Hok Gie juga dikenal sebagai seorang aktivis Indonesia yang memiliki pemikiran yang tajam dan berani menentang kesewenangan penguasa pada waktu itu. Fokus perjuangannya adalah keadilan dan kemerdekaan berfikir.

Soe Hok Gie kecewa terhadap kawan seangkatannya (angkatan 66) yang tadinya selalu kritis terhadap penguasa yang tidak benar, namun setelah lulus dan berpindah posisi di pihak pemerintah, pemikirannya juga berubah, lupa pada visi ketika masih menjadi aktivis.

Soe Hok Gie ikut dalam mendirikan Mapala Universitas Indonesia. Gie pernah memimpin pendakian Gunung Slamet (3442 mdpl). Dia mengutip catatan harian Walt Whitman “Now I see the secret of making the best person. It’s to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”. Kemudian bersama Mapala UI, Soe Hok Gie berencana menaklukan Puncak Mahameru (3676 mdpl). 8 Desember 1969, sebelum Soe Hok Gie melakukan pendakian, dia sempat menuliskan catatannya, “ Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol pamit sebelum ke Semeru dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang khusus dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan cepat.” 16 Desember 1969, Soe Hok Gie meninggal bersama rekannya (Idhan Lubis) di puncak Mahameru karena banyak menghirup gas beracun. 24 Desember 1969, jasad Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang. Tahun 1975, tulang belulang Soe Hok Gie dikremasi, abunya disebarkan di puncak Gunung Pangrango.

“Nasib yang paling baik adalah tidak pernah dilahirkan, yang terbaik berikutnya adalah dilahirkan tetapi mati muda dan yang paling sial adalah hidup sampai umur tua.” ~ Soe Hok Gie~.

By : Lees Sulistyawati